Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum dan Adat Dalam Masyarakat Aceh

Aceh
   selalu kunjungi kami disini

Darulihtidaulislam.com- Sebelum penjajahan Belanda menguasai Aceh Pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) waktu itu mengendalikan roda pemerintahan daerah-daerah yang sudah ditaklukkannya berdasarkan Undang-Undang Dasar Hukum Pemerinahan Belanda tahun 1854 yang dikenal dengan nama "Regeringsreglement 1845". Waktu itu Aceh masih merupakan negara bendaulat seutuhnya yang dipimpin oleh seorang Sultan bemama ibrahim Mansyur Syah (1836-1870 M).

Sesudah Perang Aceh Belanda yang memakan waktu hampir 60 tahun, dimana Kerajan Aceh sudah melemah dan terpecah-pecah akibat perang (1873-1920 M),pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan juga "Regeringsreglement-1854" untuk Aceh.

Pemerintahan Belanda memberlakukan hukum ini kepada Kepala Pemerintahn para Ulee Balang yang ditunjuk di masing masing kenegerian, dengan menambah pasal-pasal khusus
yang mengakui Hukum Agama (Islam) dan Hukum Adat ( Qaedah sosial masyarakat setempat) yang termaktub dalam Adat Meukuta Alam (Fatwa Sultan Aceh di bidang Adat dan tata Pemerintahan).

Dari alur perjalanan fatwa tadi berpindah dari generasi ke generasi selama masa Kesultanan di Aceh muncullah Hadih Maja yang amat melekat di tengah-tengah masyarakat Aceh hingga dewasa ini dengan slogan "Adat Bak Poe Temeureuhom Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang Reusam Bak Laksamuna" Artinya pihak yang mengatur tata adat dan pemerintahan ada pada Sultan, pihak yang mengatur Syari'at Islam (hukom) ada pada Ulama.

Kemudian yang mengatur peraturan pelaksanaannya ada pada Putri Pahang sebagai Wazir Sultan di bidang legislatif dan yang mengatur tentang Reusam/Upacara kebiasaan Adat dan Perniagaan ada pada Laksamana sebagai Wazir Sultan di bidang Reusam.

Dari ungkapan Hadih Maja di atas cakupan pengertian yang dibangun masyarakat Aceh menjadi 4 (empat) terminologi pengertian kaedah hukum:

Pertama :
masalah Adat (ketentuan hukum tak tertulis) dan Tata Pemerintahan bersumber dari kewenangan kedaulatan Sultan dan jajaran penguasa kenegerian di bawahnya yang merupakan implementasi kedaulatan rakyat.

Putusan fatwa Adat yang diberlakukan atas masing-masing kenegerian di Aceh oleh Sultan dan Ulee balang Penguasa Pemerintahan sagoe (Sagi) tetap mengacu pada perilaku sosial setempat terutama untuk mengatur tata pemerintahan dan sosial Sagoe (Sagi) tetap mengacu pada perilaku sosial setempat
terutama untuk mengatur tata pemerintahan dan sosial kemasyarakatan di desa yang berbasis kepada masyarakat adat.

Kedua:
Masalah hukum, patron yang menjadi sumber penggalian dan pedomannya adalah kaedah-kaedah fatwa syari'at (Islam) yakni ketetapan dalam Al-Qur'an dan Hadits yang sudah diadaptasikan ke dalam perangkat Hukum Adat oleh fatwa para ulama yang dilambangkan pada seorang tokoh ulama besar Aceh Syeikh Abdul Rauf As-Singkili (Syiah di Kuala).

Maka di sini Adat Aceh yang berlaku dalam masyarakat sebelum masuk Islam karena bertentangan dengan fatwa Al-Quran dan Hadits, banyak yang gugur dan tidak dipakai lagi.Misalnya, adat bergaul pemuda-pemudi di beberapa kawasan pesisir di Aceh menurut kepercayaan Hindu secara bebas (free sex), di mana pemuda yang sudah mendapat pilihan jodoh dengan gadis di desanya dapat dengan leluasa menginap di rumah sang gadis tanpa diikat ke dalam ikatan tali perkawinan.

Begitu pula dengan kepercayaan kepada benda-benda yang dikeramatkan, pohon raksasa, roh nenek moyang dan bentuk kepercayaan animisme lainnya yang lazim dilaksanakan secara adat oleh masyarakat Aceh dituangkan ke dalam fatwa agama menurut ajaran Islam,Artinya adat-adat tersebut masih diberlakukan apabila sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT dan Hadis Rasulullah Nabi Muhammad SAW.

Ketiga : 
masalah Qanun yakni ketentuan aturan pelaksanaan Hukum Adat tertulis difatwakan oleh Wazir Sultan yang waktu itu di bawah  kendali Permaisuri Sultan Putri Pahang (Putroe Phang). Aturan pelaksanaanya ini juga amat terkait erat dengan kedua hal di atas, apa yang termaktub dalam 'Qanun' merupakan pengejawantahan dari hukum dan adat yang dititah Sultan (umara) dan Qadhi Malikul Adil (Ulama).

Ketentuan menurut kaedah Syar'iyah dan kaedah Adat dibakukan ke dalam Qanun menjadi peraturan resmi Sultan untuk dilaksanakan oleh para Uleebalang Kepala Pemerintahan Sagoe di masing-masing kenegeriannya.

Kampat:
Masalah Reusam, yakni ketentuan adat etika sosial yang bersifat serimonial baik untuk kepentingan ritual agama, sosial kemasyarakatan di kalangan petani, dan nelayan.Tetapi memang dalam "Reusam" lebih banyak difokuskan dalam pengaturan
perkawinan, kelahiran hingga peosesi upacara kematian (tahlilan dan khanduri uroe tujoh, siploh dan seterusnya menurut kesanggupan ahlil bait.

Sebagaimana disinggung di atas dalam "Meureusam" 
menyangkut kebiasaan pergaulan pemuda-pemudi masyarakat Aceh yang berlaku sebelum datangnya Islam, yakni soal perjodohan, maka masalah Reusam sebagian besar ketentuan prosesi yang dianut oleh Hukum Adat tentang soal perkawinan dan serangkaian persiapan hingga pasca kelahiran dan kematian.

Sekian...
ariv yabarwiel
ariv yabarwiel " DUNIA TEMPAT DITINGGAL BUKAN TEMPAT TINGGAL " by : Arifullah

Posting Komentar untuk "Hukum dan Adat Dalam Masyarakat Aceh"