Aceh Pada Masa Sultan Alauddin Ri'ayatsyah (1588-1604)
Darulihtidaulislam.com- Sejak kerajaan Aceh berdiri kedua kali, didirikan oleh Raja Ibrahim bergelar Sultan Ali Mughayat syah ditahun 1507 sampai naiknya kelak Sultan Iskandar Muda (Meukuta Alam) ditahun 1607, artinya seratus tahun Aceh telah melaksanakan tugas sebagai benteng Islam memperkokoh syari'at nabi.
Buya Hamka menggambarkan Aceh dalam menjaga Islam laksana benteng kepulauan nusantara yang mempertahankan diri dari "angin barat" dan "gelombang barat" yang telah mulai menghantarkan ombaknya yang dahsyat di pantai.
Demikian juga Aceh telah berusaha membersihkan sisa pengaruh Hindu dan menangkis serbuan Kristen yang dipelopori oleh bangsa Portugis.Di saat saat yang dibutuhkan Aceh mengangkat pedang demi Islam, demikian juga dalam mempersatukan negeri-negeri di pulau Sumatra.
Maka timbulah sultan-sultan pahlawan, Ali Al-Mughayatsyah, Riayatsyah Al-Kahar, Sultan Husein dan Alauddin Mansyur Syah yang didikan keislamannya telah membentuk pribadinya sehingga walaupun asalnya dari tawanan perak namun ia turut memperkokoh kekuasaan Aceh.
Kemudian disambung lagi oleh Sultan Saidil Mutammin yang tua dan saleh guna mempertahankan pusaka nenek moyangnya.
Sehingga layaklah dengan hati yang rendah kita mengakui dengan penuh kerelaan jika Aceh menamakan dirinya Serambi Mekkah.
Negeri negeri yang terkeliling baik ke semenanjung tanah Melayu, atau dipantai Barat pulau Sumatera, melalui Minangkabau sampai ke Bangkulu berhutang budi dalam
hal pertahanan Islam kepada Kerajaan Aceh.
Selanjutnya dalam buku yang sama Buya Hamka berkomentar, bahwa orang Aceh perlu sadar benar bahwa mereka adalah orang muslim.Islam tidak boleh hanya tinggal dalam permainan mulut, padahal tidak berjalan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Karena itulah sultan-sultan ketika itu memerintahkan agar disetiap kampung berdiri mesjid meunasah sebagai tempat mengerjakan shalat jama'ah lima waktu dan Jum'at sekali sepekan. Di setiap kampung itu di samping masjid harus ada meunasah (madrasah). Ketua (gesyik) kampung itu kadang-kadang sekaligus merangkap menjadi Imuem (imam), ia bukan saja imam didalam tetapi juga imam dalam mengajak rakyat
menjaga kampung halaman, menjaga dan memimpin turun ke sawah, bertanam lada, mengambil hasil pinang dan kelapa.
Sebab apabila kehidupan rakyat sudah aman, sandang pangan cukup karena hasil usaha sendiri, dengan sendirinya agamanyapun ikut maju.Beberapa kampung berdekat-dekatan setelah mempunyai meunasah masing-masing mempunyai sawah ladang dan bandar yang baik dan penduduknya telah menjadi penetap, jadilah dia mukim.
Oleh karena pengaruh Mazhab Syafi'i jum'at baru boleh didirikan apabila sudah ada sekurang-kurangnya 40 orang mukim di negeri itu, Maka setiap mukim itu dikepalai oleh seorang ulee balang la menjadi wakil sultan buat menyampaikan perintah dari atas melalui imam meunasah.Atau menjadi perantara menyampaikan usul rakyat dengan perantaraan
imamaya kepada sultan.
Supaya rakyat itu mengerti benar akan hukum agamanya dan kehidupan secara Islami sultan suka sekali mengundang ulama slama untuk memberi pengajian kepada masyarakat di Aceh. Orang Aceh sendiri sering dikirim belajar ketempat lain di luar Aceh, terutama sekali ke Mekkah.
Apabila datang seorang alim dari luar negeri setelah diketahui bahwa ia benar-benar orang beriman ia akan mendapat tempat yang istimewa di Aceh dan tidak dipersoalkan apa bangsanya karena pada waktu itu bukanlah bangsa yang menjadi ukuran melainkan agama.
Filsafat hukumnya adalah adat bersandar kepada syara', syara' bersandar kepada adat. Maksudnya ialah bahwasanya adat-istiadat itu tidaklah akan kuat kalau sekiranya tidak daripada syara' sumbernya, dan juga sebaliknya suatu hukum tidaklah akan menjadi kenyataan kalau tidak dijadikan adat.
Sebagai pepatah Aceh "syara' ngoen adat lagee zat ngoen sifeut" Jadi kalau ditanyakan orang,apakah adat Aceh? niscaya mereka akan menjawab ialah agama islam.
Sekian......
Posting Komentar untuk "Aceh Pada Masa Sultan Alauddin Ri'ayatsyah (1588-1604)"